TULUNGAGUNG, INTENSINEWS.COM – Pada zaman Kerajaan Majapahit, hubungan antara pusat pemerintahan dengan daerah pedalaman sangat sulit untuk memantau, sehingga keamanan khususnya di daerah sebelah selatan sungai Brantas tidak mudah dapat dikuasai. Sehingga di sana-sini sering timbul pemberontakan.
Berdirinya perguruan, padepokan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru pada umumnya juga merupakan mata telinga dari pada kerajaan. Demikian pula hubungannya dengan perguruan Pacet yang berada di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai Pacet.
Kyai Pacet mengajarkan ilmu Joyo kawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya, Pangeran Kalang dari Tanggulangin, Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak, Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek, Kyai Kasan Besari dari dukuh Tunggul, Kyai Singo Taruno dari dukuh Plosokandang, dan Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono, serta Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).
Pada suatu hari, Kyai Pacet mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada persidangan itu, selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet menceritakan, bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan peguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu kepada gurunya.
Kyai Kasan Besari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan Peguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus terang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Besari meninggalkan tempat pesamuan, setelah kepergian Kyai Besari yang tanpa pamit itu, Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk menasehati Kyai Kasan Besari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bonorowo untuk tetap menjadi murid dari Kyai Pacet.
Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedua murid tersebut, karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasan Besari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut, maka Kyai Pacet berpesan pada murid-murid lainnya supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua dan yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Pangeran Lembu Peteng.
KYAI KASAN BESARI INGIN MEMBUNUH KYAI PACET
Kyai Kasan Besari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem. Dalam pembicaraanya, Pangeran Bedalem menyatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasan Besari dan Kyai Pacet, lalu dia terus pulang ke Betak. Sebaliknya, Pangeran Kalang malah membenarkan tindakan Kyai Besari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berontak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan untuk membunuh Kyai Pacet. Sewaktu Kyai Besari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemadi, dengan tanpa diketahui oleh pihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap untuk menerkamnya. Kyai Besari dan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang langgang.
Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet kemudian memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa dia mendengar suara “GEMLUDUG” dan setelah dilihatnya tampak bahwa Kyai Pacet memegang cahaya yang kemudian berubah menjadi sebilah keris. Keris tersebut kemudian diberi nama Kyai Gleduk, sedang desa dimana Kyai Pacet bersemadi hingga sekarang bernama GLEDUG.
Setelah menyelesaikan semadinya, Kyai Pacet segera mengejar kedua orang yang sedang berlari itu. Kyai Kasan Besari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan ilmu kanoragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gamparan yang berubah menjadi ular besar. Kedua binatang jadi-jadian itu berkelahi. Harimau kanoragan dari Kyai Besari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi.
Tempat dimana Kyai Besari menderita kekalahan itu oleh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. Kyai Besari terus melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke Padepokan untuk mengerahkan murid-murid guna menangkap Kyai Besari dan Pangeran Kalang.
Murid-murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyai Besari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Kyai Besari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu puteri dari Pangeran Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di situ, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara dari Ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke tamansari untuk mencari Pangeran Kalang. Di tamansari, Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Puteri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi disitu.
Pada pertemuan itu, Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan rasa asmaranya, Roro Kembangsore mengimbanginya. Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran Kalang yang bersembunyi di tamansari itu dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan keponakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng.
Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya yaitu Pangeran Bedalem yang merupakan ayah dari Roro Kembangsore. Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi marah sekali, terus pergi ke tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan diri dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, ke rumah kakaknya yaitu Kyai Betak.
Pada waktu itu Kyai Betak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Bangun Tulak dan Dadap Tulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anak tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang. Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu itu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “NGIDERI PARI”.
Kyai Betak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perkelahian. Kyai Betak kalah dan mati terbunuh. Kyai Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang. Waktu Dadap Tulak dan Bangun Tulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.
Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Bangun Tulak dan Dadap Tulak yakin bahwa pembunuhnya tak lain tentu Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah peperangan. Bangun Tulak dan Dadap Tulak kalah. Bangun Tulak terluka dan berlumuran darah yang berbau langu. Maka tempat dimana ia mati dinamakan Boyolangu, sedang tempat dimana Dadap Tulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama-sama Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat tertangkap dan dibunuhnya. Jenazahnya dibuang ke sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri terus lari.
Punakawan dari Pangeran Lembu Peteng Setelah mengetahui peristiwa terbunuhnya Pangeran yang menjadi momongannya itu, kemudian memberi tahukannya kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan, yakni Adipati Trenggalek dengan diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Majapahit.
Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, yakni Pangeran Lembu Peteng.
Kemudian Adipati Trenggalek menceritakan hal ikhwal tentang terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti prosesnya maka Perwira Majapahit tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan wadyabalanya.
Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jenazah Pangeran Lembu Peteng tak dapat diketemukan. Sungai dimana jenazah Pangeran Lembu Peteng dibuang, oleh Perwira Majapahit diberi nama Kali Lembu Peteng.
PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI.
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa ia dikejar oleh balatentara dari Majapahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke arah selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri mencebur ke sebuah kedung. Kedung tersebut kemudian dinamakan Kedung Bedalem. Oleh sebab tampuk pemerintahan Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat Adipati untuk mengganti Adipati Bedalem ialah Pangeran Kalang.
Selanjutnya, balatentara Majapahit disebar untuk mencari Kyai Besari. Putra Majapahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi ini kena runduk oleh Kasan Besari dan tergelincir masuk ke sebuah Kedung hingga meninggal dunia. Kedung tersebut lalu diberi nama Kedungsoko.
Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh sebab itu Kyai Besari tidak mau menyerah maka timbul pertempuran. Kyai Besari kalah dan terkena pusakanya sendiri yaitu Korowelang. Dukuh tersebut oleh Sang Perwira Mada diberi nama dukuh Tunggulsari.
Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.
PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA RORO INGGIT
Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan oleh kecantikan Roro Inggit, adik dari Retno Mursodo janda alm. Pangeran Bedalem. Pangeran Kalang menginginkan Roro Inggit untuk dijadikan istrinya, tetapi Roro Inggit menolak dan Retno Mursodo juga tidak menyetujuinya. Kemudian Pangeran Kalang memaksanya, Roro Inggit bersama Retno Mursodo meninggalkan Betak dan terus melarikan diri menuju ke desa Plosokandang.
Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilangan jejak, sehingga ia lalu mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri dari Kadipaten Betak tetapi tidak mau lapor, maka akan dijatuhi hukuman gantung.
KYAI PLOSOKANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid dari Kyai Pacet yang bernama Kyai Singo Taruno disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari dukuh Plosokandang. Pada suatu hari ia ketamuan dua orang putri dari Kadipaten Betak yakni Roro Inggit dan Roro Mursodo.
Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh Rr. Mursodo diceritakan semua, dan karena itu Kyai Singo Taruno tidak berkeberatan untuk melindunginya, meskipun ia sendiri mengerti bahwa usahanya itu sangat berbahaya bagi jiwanya sendiri.
Adipati Kalang datang sungguh ke Plosokandang dan bertanya kepada Kyai Singotaruno apakah dia mempunyai tamu yang berasal dari Betak. Kyai Singo Taruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorangpun. Tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin mencarinya sendiri ke belakang. Roro Mursodo dan Roro Inggit ketika mendengar bahwa tamu yang datang itu Adipati Kalang, segera berkemas dan melarikan diri ke arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal ini, dan ia sangat marah kepada Kyai Singo Taruno. Kyai Singo Taruno dianggap salah, dan dijatuhi hukuman gantung.
RORO INGGIT BUNUH DIRI
Oleh karena Roro Inggit merasa takut bila sampai dirudapaksa oleh Pangeran Kalang, maka ia berputus asa dan bunuh diri terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Tempat dimana Roro Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang diberi nama desa Beji. Adapun Roro Mursodo terus lari menuju ke Gunung Cilik.
MBOK RONDO DADAPAN.
Ketika Pangeran Lembu Peteng bertempur dengan Kyai Besari, Roro Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama mbok Rondo Dadapan yang mempunyai anak laki-laki bernama Joko Bodo.
Lama kelamaan Joko Bodo terpikat oleh kecantikan wajah Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak secara halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodo selalu mendesak maka pada suatu hari ketika mbok Rondo Dadapan sedang bepergian, Roro Kembangsore mengajukan permintaan. Ia bersedia dikawin, asalkan Joko Bodo mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodo menyanggupi permintaan itu dan pergi meninggalkan rumah untuk melaksanakan tapa mbisu.
Ikatan janji itu tidak diketahui oleh mbok Rondo Dadapan. Roro Kembangsore juga pergi menuju ke Gunung Cilik. Maka ketika mbok Rondo pulang dari bepergian ia merasa terkejut, karena keadaan rumah kelihatan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi kesana kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya diketemukan Joko Bodo sedang duduk termenung menghadap kebarat. Dipanggilnya berulang kali tidak mau menjawab. Karena jengkelnya mBok Rondo lupa dan mengumpat “Bocah diceluk kok meneng bae kaya watu”. Seketika itu juga karena kena sabda mBok Rondo, Joko Bodo berubah menjadi batu.
Mbok Rondo menyadari atas keterlanjuran kata-katanya. Maka ia lalu berharap; “Besuk kalau ada ramainya zaman, gunung ini saya beri nama “GUNUNG BUDEG”, dan hingga sekarang gunung tadi disebut orang gunung Budeg.
RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Sang Patih mendengar berita bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan diri Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya ialah Roro Kembangsore. Kecuali menjadi pendeta ia juga menjadi empu. Resi Winadi mempunyai dua orang cantrik kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO.
Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke Kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah sebagai berikut : Kalau pusakanya ditikamkan di pohon beringin daunnya rontok dan pohonnya tumbang, itulah yang menang.
Selanjutnya bilamana pusaka Resi Winadi yang kalah maka Resi Winadi tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya kalau pusaka Sang Resi menang dan Pangeran Kalang menghendaki untuk dimilikinya maka ada syaratnya ialah Pangeran Kalang supaya pergi sendiri ke Gunung Cilik untuk memintanya, tetapi bila sudah mulai naik gunung harus berjalan dengan jongkok (laku dodok), tidak diperkenankan memandang wajah sang resi sebelum diizinkan. Setelah cantrik mengerti akan tugasnya maka berangkatlah ia.
Selain penugasan kepada cantrik Sarwo, Resi Winadi juga menugaskan kepada Sarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar, dan yang penting dapat mencabut sumbat ijuk yang berada di Tamansari. Adapun letaknya di bawah batu gilang.
Setelah sampai di Betak, cantrik Sarwo menghadap Adipati Kalang dan mengutarakan segala maksudnya, ialah apa yang ditugaskan oleh Resi Winadi. Pangeran Kalang menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk di adunya.
Pusaka Betak dicoba terlebih dahulu, ialah ditikamkan pada pohon beringin kurung yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun, tetapi tidak apa-apa. Sekarang datang gilirannya pusaka Gunung Cilik. Setelah ditikamkannya, maka semua daunnya telah rontok dan kemudian tumbanglah pohon itu.
Pangeran Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asal Pangeran Kalang bersedia memenuhi syarat-syaratnya tadi. Pangeran Kalang tidak berkeberatan, dengan diantar oleh cantrik Sarwo dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik.
Di tamansari Betak, Sarwono yang ditugaskan mencabut sumbat ijuk di bawah batu gilang dapat menemukan tempat itu. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak tertimpa banjir dan terendam air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan naik sebuah getek (rakit bambu).
DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
Waktu itu Sarwono sedang menghadap Resi Winadi untuk melaporkan tugas yang dilaksanakan. Datanglah ibunya Roro Mursodo. Maka saling berceritalah mengenai riwayat masing-masing. Tak lupa pula disebut-sebut tentang matinya Roro Inggit, karena dikejar-kejar oleh Pangeran Kalang. Mereka sangat bergembira dapat bertemu kembali sehingga saling mencucurkan air mata.
Kemudian datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya juga ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat itu tampaklah dari jauh kedatangan dua orang. Yang seorang berjalan jongkok dan nyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo.
Setelah dekat, maka Sang Resi memberi perintah supaya Pangeran Kalang memandangnya. Alangkah terkejutnya bercampur malu. Karena yang disembah-sembah tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut maka Pangeran Kalang terus melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh Patih Majapahit.
PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH
Timbullah peperangan antara Prajurit pengawalnya Pangeran Kalang dengan bala tentara Mojopahit. Prajurit dari Pangeran Kalang mengalami kekalahan dan kesemuanya mati terbunuh di suatu desa, yang mana oleh Patih Gajah Mada desa tersebut diberi nama desa BATANGSAREN.
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Majapahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehingga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka-luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini diberi nama CUIRI.
Meskipun keadaannya sudah parah, Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, dan tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini diberi nama desa Kalangbret. Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah, lalu bersembunyi di song sungai, dan disinilah ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Tempat tersebut oleh Patih Gajah Mada dinamakan desa Ngesong.
Setelah keadaan aman, kemudian Patih Gajah Mada kembali ke kota raja Majapahit. Bekas pertapaan Roro Kembangsore hingga sekarang masih menjadi tempat pesadranan.
Pewarta : Paul Suparno
Sumber Artikel : Babad Tulungagung